Amalan Sya'ban & Rajab
Bagian (2)
Setelah ada keterangan sebelum ini
mengenai cara memperingati hari-hari
Allah swt. dan lain sebagainya didalam bab Maulidin (kelahiran) Nabi saw.,
maka kami ingin mengutip berikut ini kemuliaan bulan/malam nishfu Sya’ban dan bulan Rajab. Didalam Islam telah
dikenal adanya hari-hari, bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah swt.
umpamanya hari Jum’at, bulan Ramadhan, bulan Haji dan lain sebagainya. Allah
swt. akan lebih meluaskan Rahmat dan Karunia-Nya melebihi daripada hari-hari
atau bulan-bulan biasa. Dengan demikian siapa yang beramal sholeh pada
waktu-waktu tersebut lebih besar harapannya Allah swt. akan mengampunkan
dosanya dan do’anya dikabulkan oleh-Nya
Bulan
Sya’ban/malam nishfu Sya’ban
Bulan Sya’ban
adalah termasuk bulan suci atau mulia dan cukup dikenal di kalangan kaum
muslimin karena banyak riwayat hadits yang mengemukakan kemuliaan bulan
tersebut.
Nama Sya’ban
adalah salah satu nama bulan dari 12 bulan Arab lainnya yaitu satu bulan sebelum
bulan Ramadhan. Sedangkan yang dimaksud nishfu
(pertengahan) Sya’ban yaitu tanggal 15 bulan Sya’ban, sedangkan malam nishfu
Sya’ban yaitu mulai waktu Maghrib pada tanggal 14 Sya’ban. Banyak hadits Hasan
yang dipandang mu’tamad oleh para ulama pakar mengenai keutamaan bulan Sya’ban
dan malam nishfu Sya’ban, diantaranya,
Hadits dari ‘Aisyah:
مَا رَأيْتُ
رَسُوْل الله .صَ. : إسْتَكْمَلَ
صِيَامَ شَهْرٍِ قَطُّ, إلاَّ شَهْرَ رَمَضَانَ , وَمَا رَأيْتَهُ فِىْ شَهْرٍ
كْثَـَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
“Tidak terlihat olehku Rasulallah saw.
berpuasa satu bulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidak satu bulan
yang hari-harinya lebih banyak dipuasakan Nabi daripada bulan Sya’ban”. (Bukhari dan Muslim)
Riwayat dari Usamah bin Zaid ra.
katanya :
قُلْتُ : يَا رَسُوْلُ اللهِ لَمْ أرَاكَ تَصُومُ
مِنْ شَهِْرمِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَان؟
قَالَ
ذَالِكَ شَهْرُْ يَغْفَلُ النَّاسُ عَنْهُ , بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ وَهُوَ
شَهْـرٌ تُرْفَعُ بِهِ
الأعْمَال اِلَى
رَبِّ العَالَمِيْنَ فَأحِبُّ اَنْ يُرْفَع عَمَلِى وَأنَا
صَائِمٌ.
Artinya:
“Tanya saya: ‘Ya, Rasulallah kelihatannya tidak satu bulan pun yang lebih
banyak anda puasakan dari Sya’ban’. Ujar Nabi; ‘Bulan itu sering dilupakan orang,
karena letaknya antara Rajab dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah (bulan
Sya’ban) diangkatnya amalan-amalan
kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka saya ingin amalan saya dibawa naik selagi
saya dalam berpuasa’ ”. (HR.Abu Daud dan Nasa’i dan disahkan oleh Ibnu
Khuzaimah)
Hadits dari Ummu Salamah ra., katanya: ‘Belum pernah aku melihat Nabi saw.
berpuasa dua bulan berturut-turut terkecuali di bulan Sya’ban
dan Ramadhan”. (HR. Tirmidzi dengan sanad Hasan)
Abu Dawud mengemukakan hadits dari
Abdullah bin Abi Qais dari Aisyah ra. sebagai berikut: “Bulan yang paling
disukai Rasulullah saw. ialah berpuasa di bulan Sya’ban. Kemudian beliau
menyambung puasanya hingga ke Ramadhan”. (Sulaiman bin al-Asy’at al-Sijistani,
Sunan Abu Daud, t.th, Dar al-Fikr : Beirut , hlm 323 juz 2)
Hadits lainnya adalah riwayat al-Nasa'i
dan Abu Dawud (dan dishohihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada
Nabi saw, 'Wahai Rasulullah, saya tak melihat engkau melakukan puasa (sunat)
sebanyak yang engkau lakukan dalam bulan Sya'ban'. Rasul menjawab: 'Bulan
Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan
orang'’ “.
Hadits dari Imran Ibnu Hushain ra.
bahwasanya Nabi saw. pernah berkata pada seseorang lelaki; “Apakah engkau pernah berpuasa sebagian dari
bulan Sya’ban ini? Jawab lelaki itu: ‘Tidak ‘. Sabda Nabi saw.: ‘Jika
engkau telah menyelesaikan bulan Ramadhan, maka puasalah dua hari
sebagai puasa pengganti bulan Sya’ban’ “. (HR.
Bukhori dan
Muslim)
Mengenai nishfu Sya’ban yang
diriwayatkan Tirmudzi didalam An-Nawadir dan oleh Thabarani serta Ibnu
Syahin dengan sanad Hasan (baik), berasal dari ‘Aisyah ra. yang
menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menerang- kan bahwa:
هَذِهِ لَيْلَةُ
النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَغْفِرُ الله ُ المُسْتَغْفِرِيْنَ , وَ يَرْحَمُ
المُسَْتَرْحِمِيْنَ وَ يُؤَخِّرُ أهْلَ الحِقدِ عَلَى حِقْدِهِمْ
Artinya: “Pada
malam nishfu Sya’ban ini Allah mengampuni orang-orang yang mohon ampunan
dan merahmati mereka yang mohon rahmat serta menangguhkan (akibat) kedengkian
orang-orang yang dengki”.
Disekitar hadits terakhir diatas ini
beredar sejumlah hadits lainnya yang memandang mustahab/baik kegiatan menghidupkan
(ihya) pada malam nishfu tersebut. Diantaranya; hadits riwayat Ibnu Majah dari
Amirul mukminin Ali kw.; Hadits riwayat Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad
dari ‘Aisyah ra., riwayat Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Musa ra. dan
sebagainya. Terkabulnya do’a yang dipanjatkan pada malam tersebut lebih besar
harapannya dan pada bulan itulah di angkatnya amalan-amalan kepada Allah
Rabbul ‘alamin.
Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang
diandalkan golongan pengingkar ini yaitu Syeikh al-Albani (dalam
silsilah al-Ahadits al-Sahihah, No. 1144) yaitu: “Allah melihat kepada
hamba-hambaNya pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya
kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci
membenci)”.
Hadits dari ‘Aisyah ra: “Suatu malam
Rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka
bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau
dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: ‘Hai
A’isyah engkau tidak dapat bagian’?. Aku menjawab: ‘Tidak ya Rasulullah, aku
hanya berpikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena
engkau bersujud begitu lama’. Beliau bertanya: ‘Tahukah engkau, malam apa
sekarang ini’. ‘Rasulullah yang lebih tahu’, jawabku. ‘Malam ini adalah malam
nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Dia memaafkan
mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta
kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki‘ “(HR. Baihaqi).
Menurut perawinya hadits ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke sahabat),
namun cukup kuat.
Dalam hadits Ali kw, Rasulullah
bersabda: “Malam nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada
siang harinya, sesungguhnya Allah turun kelangit dunia pada malam itu, Allah
bersabda: ‘Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta
rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku
bebaskan, hingga fajar menyingsing’”. (H.R. Ibnu Majah dengan sanad
lemah).
Ingat sekali lagi bahwa para Ulama
berpendapat bahwa hadits lemah dapat digunakan untuk Fadhail ‘Amal
(keutamaan amal). Walaupun sebagian hadits-hadits tersebut tidak shahih, namun
melihat dari hadits-hadits lain yang menunjukkan keutamaan bulan Sya’ban, dapat
diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu Sya’ban jelas mempunyai keutamaan
dibandingkan dengan malam-malam lainnya..
Menurut seorang ahli ilmu Ibn Thawus
dalam buku ‘Iqbal’, riwayat dari Kumail bin Ziyad Nakha’i (sahabat Imam
Ali bin Abi Thalib kw.), yang katanya: “Pada suatu hari, saya duduk di Masjid
Basrah bersama maulana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., membicarakan hal
nishfu Sya’ban. Ketika beliau ditanya tentang firman Allah swt dalam surat
Ad-Dukhaan: 4:
فِيْهَا
يُفْرَقُ كُلُّ أمْرٍ حَكِيْمٍ
Artinya: “Pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah”
Amirul
Mukminin mengatakan bahwa ayat ini mengenai malam nishfu Sya’ban, orang
yang beribadat dimalam itu, tidak tidur, dan membaca do’a Hadrat Hidr as. akan
lebih besar harapan diterima do’anya. Ketika beliau pulang kerumahnya, dimalam
itu, saya menyusulnya. Melihat saya, Imam Ali bertanya: ‘Apakah keperluan anda
kemari’? Jawab saya; ‘Saya kemari untuk
mendapat- kan do’a Hadrat Hidr’. Beliau mempersilahkan saya duduk seraya
berkata: ‘Ya, Kumail, apabila anda menghafal do’a ini dan membacanya setiap
malam Jum’at, cukuplah itu untuk melepaskan anda dari kejahatan, anda akan
ditolong Allah swt., diberi rezeki, dan do’a ini akan makbul. Ya, Kumail,
lamanya per sahabatan serta kekhidmatan anda, menyebabkan anda dikarunia nikmat
dan kemuliaan untuk belajar’.
Dalam Mafatih, muhaditts besar
Al-Qummi, yang dikutip dalam Mishbah-ul-Mutahajjid, disebutkan bahwa
do’a Hadrat Hidr adalah do’a terbaik, dan termasyhur sebagai do’a hadrat hidr,
serta Imam Ali kw, berkata pada Kumail untuk membacanya di malam nishfu Sya’ban
dan setiap malam Jum’at. Dikatakan bahwa do’a ini dapat memperluas pintu rezeki
dan melawan niat jahat musuh.
Disamping
do’a hadrat hidr tersebut ada do’a malam nishfu Sya’ban yang
masyhur/terkenal juga diriwayatkan oleh Abu Syaibah di dalam Al-Mushannif
dan oleh Abu Dunya didalam Ad-Dua, berasal dari Ibnu Mas’ud ra. Juga ada
hadits dari Ibnu Umar yang mengatakan,‘ Seorang hamba Allah yang
memanjatkan do’a do’a itu, Allah pasti meluaskan penghidupannya (rezekinya).
Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan At-Thabarani meriwayatkan juga hadits
tersebut dengan lafadh (versi) tidak jauh berbeda.
Banyak berita riwayat yang menerangkan,
bahwa orang yang memanjatkan do’a malam nishfu Sya’ban ini akan
diluaskan rezekinya dan sebagainya. Juga beberapa sumber rujukan yang
mengisnadkan sebagian isi do’a nishfu dari Umar bin Khattab ra.. Sebagian isi
do’a yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud antara lain berbunyi: ’Ya Allah,
jika Engkau telah menyuratkan nasibku..dan seterusnya’. Bagi yang ingin
mengetahui lafadh do’a ini, bisa baca pada kitab majmu’ syarif yang banyak dijual pada toko-toko buku agama.
Keterangan-keterangan demikian ini tentu atas dasar taufiq atau persetujuan
dari Nabi saw.. Sebab tidak ada kewenangan pada seorang sahabat atau
lainnya untuk memberitahu suatu imbalan pahala yang bersifat ghaib kalau
tidak dari Nabi saw.. Jadi do’a-do’a nishfu Sya’ban baik yang dari Imam Ali
kw.(do’a Hadrat Hidhr) serta dari sahabat-sahabat Nabi lainnya sudah terkenal
di kalangan para salaf, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menyangkal
atau mensesatkannya, kecuali golongan pengingkar ini!
Cara ibadah, berdo’a yang dilakukan
oleh kaum muslimin pada malam nishfu Sya’ban itu bermacam-macam:
Ibadah
dan berdo’a pada malam Nishfu Sya’ban walau pun bermacam-macam tapi makna dan
intinya sama yakni bermohon kepada Allah swt. untuk kebaikan didunia
dan akhirat. Ada yang shalat sunnah enam rakaat pada waktu antara maghrib dan
Isya’, banyak hadits yang tidak diragukan ke benarannya mensunnahkan shalat
enam raka’at tersebut. Jika seorang hamba Allah bertawassul kepada-Nya melalui
shalat enam raka’at itu, sungguhlah bahwa tawassul yang dilakukannya itu adalah
amalan shalih, dan itu tidak dapat disangkal. Karena itu sama halnya
orang yang melakukan sholat Hajat, yaitu shalat sunnah yang dengan bulat
dibenarkan oleh semua umat Islam.
Cara
ibadah lainnya yaitu berdo’a dengan tawassul membaca surat Yaasin pada malam
nishfu Sya’ban ini, setiap setelah baca Yaasin sekali langsung disambung dengan
do’a (kalimat doanya lihat bawah) dan hal yang sama ini diulangi sampai tiga
kali. Bacaan pertama dengan niat agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah
swt., bacaan yang kedua dengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari
berbagai kesusahan dan bacaan yang ketiga dengan niat agar Allah swt.
menjauhkan dari rasa minder/rendah diri terhadap manusia (Istighna ‘anin Naas).
Ini semua tidak lain merupakan tawassul kepada Allah swt. dengan Kitab Suci-Nya,
dengan firman-Nya dan dengan kesucian sifat-sifat-Nya.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan
bahwa para ulama sepakat keshohihan dari hadits Rasulallah saw tentang riwayat
3 orang yang tertutup di goa, yang berdoa kepada Allah swt sambil
bertawassul dengan amal kebaikan yang pernah diamalkannya. Kemudian
Allah swt mengabulkan doa mereka ini. Nah, kalau bertawassul dengan amal
kebaikan tsb. dibolehkan dan mustajab doanya, apalagi tawassul dengan firman
Allah swt yaitui membaca surah Yasin sebelum berdoa kepada Allah swt, insya
Allah lebih besar lagi harapan doa kita dikabulkan oleh Allah swt.
Kalimat Doa nishfu Sya'ban:
{{ ALLAAHUMMA YAA DZAL MANNI WALAA YUMANNU
‘ALAIKA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM, YAA DZATH THAULI WALIN’AAM, LAA ILAAHA
ILLAA ANTA, DHAHRUL LAAJIIN, WA JAARUL MUSTAJIIRIIN, WA AMAANUL KHAA IFIIN,
ALLAAHUMMA IN KUNTA KATABTA NII ‘INDAKA FII UMMIL KITAABI SYAQIYYAN AW
MAHRUUMAN AW MATHRUUDAN AW MUQTARRAN ‘ALAYYA FIR RIZQI, FAMHULLAA HUMMA BI
FADLLIKA SYAQAAWATII WA HIRMAANII WA THARDII WAQ TITAARI RIZQII WA ATS-BITNII
INDAKA FII UMMIL KITAABI SA’IIDAN MARZUUQAN MUWAFFAQALLIL KHAIRAAT. FA INNAKA
QULTA WA QAULUKAL HAQQU FII KITAABIKAL MUNAZZALI ‘ALAA NABIYYIKAL MURSALI,
YAMHUL LAAHUMAA YASYAA U WA YUTSBITU WA ‘INDAHUU UMMUL KITAAB. ILAAHII BITTAJALLIL
AA’DHAMI FII LAILATIN NISHFI MIN SYAHRI SYA’BAANIL MUKARRAMIL LATII YUFRAQU
FIIHAA KULLU AMRIN HAKIIM WA YUBRAM, ISHRIF ‘ANNII MINAL BALAA I MAA A’LAMU WA
MAA LAA A’LAM WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUBI BIRAHMATIKA YAA ARHAMAR RAAHIMIIN. }}.
Artinya:“Ya Allah Tuhanku Pemilik nikmat,
tiada ada yang bisa memberi nikmat atas-MU. Ya Allah Pemilik kebesaran dan
kemuliaan. Ya Allah Tuhanku Pemilik kekayaan dan Pemberi nikmat. Tidak ada yang
patut disembah hanya Engkau. Engkaulah tempat bersandar. Engkaulah tempat
berlindung dan padaMUlah tempat yang aman bagi orang-orang yang ketakutan. Ya
Allah Tuhanku, jika sekiranya Engkau telah menulis dalam buku besar-MU bahwa
adalah orang yang tidak bebahagia atau orang yang sangat terbatas mendapat
nikmat-MU, orang yang dijauhkan daripada-MU atau orang yang disempitkan dalam
mendapat rizki, maka aku memohon dengan karunia-MU, semoga kiranya Engkau
pindahkan aku kedalam golongan orang-orang yang berbahagia, mendapat keluasan
rizki serta diberi petunjuk kepada kebajikan. Sesungguhnya Engkau telah berkata
dalam kitabMU yang telah diturunkan kepada Rasul-MU, dan perkataan-MU adalah
benar, yang berbunyi: Allah mengubah dan menetapkan apa-apa yang
dikehendaki-NYA dan pada-NYA sumber kitab. Ya Allah, dengan tajalli-MU Yang Mahabesar
pada malam Nisfu Sya’ban yang mulia ini, Engkau tetapkan dan Engkau ubah
sesuatunya, maka aku memohon semoga kiranya aku dijauhkan dari bala bencana,
baik yang aku ketahui atau yang tidak aku ketahui, Engkaulah Yang
Mahamengetahui segala sesuatu yang tersembunyi. Dan aku selalu mengharap
limpahan rahmatMU ya Allah Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Kebaikan yang diminta oleh seorang
hamba Allah dari Tuhannya pada hakikat kenyataan nya berharapan agar Allah swt.
berkenan menghapus keburukannya atau dosanya, karena amal kebaikan itu
akan meniadakan keburukan, sebagaimana firman-firman Allah swt. berikut
ini :
إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ
السَّـيِّئـاتِ
Artinya: "Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan” ( Hud : ayat
114 ).
ََاُوْلآئكََ
يُبَـدّلُ اللهُ سَيِّـئَاتِهِمْ حَسَـنَاتٍ
Artinya: “Mereka itulah orang
orang yang keburukannya diganti Allah dengan kebaikan”. (Al-Furqan
: 70).
ثُـمَّ بَدَّلْـنَـا مَكَانَ
السَّـيِّـئَةِ الحَسَـنَةَ
Artinya: “Kemudian keburukan (yang
ada pada mereka) Kami ganti dengan kebaikan”. (Al-A’raf:95).
Dan masih ada firman Allah swt.
yang menyerukan agar kita berlomba-lomba mengerjakan kebaikan.
Sedangkan dalam hadits dari Ibn Mas’ud
ra berkata:
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُوْد(ر) أَنَّ رَجُلأ أَصاَبَ مِنِ امْرَأَةٍ
قُبْلَةً فَاتَى النَّبِيِّ فَأخْبَرَهُ فَأنْزَلَ الله ُتَعَالَى
: وَأَقِمِ الصَّلآةَ طَرَفَىِ
النَّهَارٍوَزُلَفـاً مِنَ الَّليـلِ أِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهـِبْنَ السَّيئَاتِ.
فَقَالَ
الرَّجُلُ : أَلِي هَذَا يَا رَسُولَ
الله ؟ قَالَ
: لِجَمِيعِ أُمّتِي
كُلِّهِمْ (رواه البخاري و مسلم )
Artinya: “Seorang lelaki mencium
wanita, maka ia datang kepada Nabi saw. memberitahu hal itu. Maka Allah
menurunkan (firman-Nya): ‘Tegakkan sholat pada pagi dan sore, dan pada waktu
malam. Sesungguhnya kebaikan
itu dapat menghapus keburukan' (QS.Hud:114). Maka orang itu bertanya: ‘Apakah
hukum ini khusus untukku’, wahai Rasulallah ? Jawab Nabi saw: ’Untuk semua
umatku’ ". (HR.Bukhori dan Muslim)
Setiap hari kita dianjurkan beramal
sholeh disamping amalan wajibnya, dan Allah swt. akan memberi pahala bagi orang
yang mengamalkannya. Lepas dari itu, kita mengenal dalil-dalil didalam Islam
yang menunjukkan bahwa ada hari-hari, bulan dan malam-malam tertentu yang mana
pada waktu-waktu tertentu tersebut Allah swt. lebih meluaskan
ampunan,kurnia serta rahmat-Nya kepada hamba Allah yang sedang beramal
sholeh pada waktu-waktu tersebut melebihi daripada hari-hari, malam-malam atau
bulan-bulan biasa. Masalah-masalah ini semua yang penting adalah agar orang tidak
menyakini bahwa pembacaan-pembacaan do’a, peribadatan dan lain-lain pada
hari atau bulan yang dimuliakan –diantaranya malam nishfu Sya’ban itu– diwajibkan
atau ditekankan oleh syariat, sehingga nanti orang yang tidak sependapat
dengan mereka, memandang salah dan durhaka.
Tidak lain kegiatan ibadah sunnah pada waktu-waktu tersebut adalah fadhilah
mubah bagi siapa yang beroleh taufiq Ilahi. Dan orang-orang yang
beroleh taufiq ilahi tidak banyak jumlahnya.
Masih
banyak hadits lainnya yang tidak kami kemukakan dibab ini mengenai
keistemewaan-keistemewaan serta pahala beramal ibadah pada hari atau bulan-bulan
tertentu umpama: hari Jum’at, puasa pada hari Senin dan Kamis, bulan Ramadhan,
puasa 6 hari setelah hari Raya Idul Fithri, puasa pada hari ‘Asyura, giat
beribadah pada malam lailatul Qadr dan keistemewaan mengenai bacaan surat
tertentu dari Al-Qur’an dan lain sebagainya. Juga hadits-hadits yang
meriwayatkan kemuliaan tempat-tempat tertentu seperti tempat-tempat yang
disebutkan pada manasik haji, keutamaan dari tiga masjid, kesucian
lembah Thuwa, tempat bekas berdirinya nabi Ibrahin as. dan lain sebagainya.
Dengan demikian kita bisa ambil kesimpulan bahwa didalam Islam telah dikenal
adanya keistemewaan dari Allah swt. bagi orang yang beramal ibadah pada
waktu-waktu dan ditempat-tempat tersebut. Bila ada orang mengatakan bahwa semua
hari, bulan, pembacaan ayat-ayat Qur’an, serta tempat-tempat tertentu itu sama
semuanya tidak ada yang lebih utama satu sama lain, begitu juga
amalan-amalan ibadah pada hari dan tempat-tempat tertentu sama juga pahalanya,
maka kami ingin bertanya pada mereka:
Apakah
gunanya riwayat-riwayat –mengenai pahala-pahala amalan tertentu, bacaan
yang mempunyai manfaat tertentu, pahala ibadah pada tempat-tempat, bulan-bulan
dan malam-malam tertentu, yang pada waktu-waktu tertentu ini Allah lebih
meluaskan Rahmat, Karunia dan Ampunan-Nya– kalau semuanya itu tidak ada
keistimewaannya atau kalau semua sama pahalanya dan keutamaannya? Apakah semua
dalil-dalil tersebut palsu, bohong, dho’if, harus dibuang dan dimunkarkan
karena tidak sesuai dengan akal kita atau karena berlawanan dengan pahamnya
sebagian ulama?
Kami sayangkan masih adanya golongan
muslimin yang sering aktif menteror sesama saudara muslim yang
mengamalkan amalan-amalan ibadah nawafil /sunnah atau mubah yang
telah kami kemukakan disitus ini. Golongan pengingkar ini setiap kali
datang bulan-bulan diantaranya bulan Maulidin Nabi saw., bulan Sya’ban, bulan
Rajab menyebarkan makalah-makalah dari website mereka yang ditulis oleh
ulama golongan ini. Ulama mereka menulis
hadits-hadits dan ayat Ilahi –yang menurut paham mereka– sebagai larangan
mengamalkan amalan-amalan mubah tersebut. Mereka ini tidak segan-segan langsung
menvonnis bahwa amalan-amalan yang diamalkan oleh kaum muslimin didunia
pada bulan-bulan tertentu itu sebagai amalan Haram, Bid’ah Munkar atau
syirik dan lain sebagainya. Tetapi herannya kaum muslimin yang mengamalkan
ini bertambah banyak, jadi bertambah banyak makalah-makalah yang mereka tulis
bertambah banyak orang yang mengamalkan amalan-amalan sunnah atau mubah
tersebut. Subhanallah.
Kalau kita teliti lagi, perbedaan paham
setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan.
Sebagaimana yang sering kita baca di kitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu, Satu
hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa
dilemahkan atau di palsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama
ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi
berbeda cara penguraiannya. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits tentang keutamaan
bulan Rajab dan amalannya, keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya,
keutamaan nishfu Sya’ban dan amalannya. Perbedaan pendapat amalan nawafil/
sunnah atau mubah ini sebenarnya tidak perlu diperuncing atau dipertajam
sehingga sering mengakibatkan sesat-mensesatkan, benci-membenci antar
sesama muslim. Siapa yang akan mengamalkan kebaikan itu, silahkan, dan
yang tidak akan mengamalkan amalan-amalan kebaikan itu itu yah silahkan juga !!
Kalau kita telaah dalil-dalil keutamaan
bulan dan malam nishfu Sya’ban, dalam kenyataannya banyak beredar hadits
–baik yang dhoif mau pun yang shohih atau hasan– yang juga diakui oleh
sebagian ulama golongan pengingkar ini sendiri. Hanya sayangnya golongan tertentu
ini –karena fanatiknya dengan paham
mereka sendiri– tidak segan-segan dan berani menvonnis bahwa amalan amalan itu semuanya bid’ah munkar
yang harus diperangi dan lain sebagainya. Yang sering digembar-gemborkan oleh
golongan ini ialah tentang amalan-amalan; Tawassul, Tabarruk, menghidupkan
malam Nishfu Sya’ban, peringatan maulidin Nabi saw. dan sebagainya. Alasan
mereka: “Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya.
Begitu juga para shahabatnya tidak ada satu pun diantara mereka yang
mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in”. Atau
ucapan mereka: “Kita kaum muslimin di perintahkan untuk mengikuti Nabi saw.
yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan,
mengapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan
diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat,
ulama-ulama salaf? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh
Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah seperti itulah yang sering
dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar
ini, juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi
tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuat
an amalan nawafil atau mubah tersebut. Terhadap semua ini
mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, munkar, syirik dan
sebagainya’ tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau
melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Omongan mereka seperti ‘Rasulallah
saw., para sahabat dan tabi’in tidak pernah melakukan amalan.... ’,
seakan-akan mereka itu pernah hidup pada zamannya Rasulallah saw. atau zamannya
para sahabat beliau saw. sehingga menyaksikan dengan mata kepala sendiri
amalan-amalan yang diamalkan oleh Nabi saw. dan para sahabat beliau saw.!
Sebagaimana yang telah kami kemukakan
sebelum nya bahwa Allah swt. berfirman: “Apa saja yang didatangkan
oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang
daripadanya, maka berhentilah (mengamalkannya)”. (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini tidak dikatakan: ‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya
(oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’. Begitu juga hadits
Rasulallah saw.: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah
semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia”. (HR.Bukhori).
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak bersabda; ’Apabila sesuatu itu
tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia’.
Dengan demikian memahami makna ayat dan
hadits yang terakhir itu, kita bisa mengambil kesimpulan: Dalil untuk mengharamkan
sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu
dari Al-Qur’an mau pun Hadits yang melarang dan mengingkari
perbuatan tersebut. Jadi bukan seenaknya menurut pemikirannya sebagian
orang. Semua perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan oleh syari’at Islam
sudah jelas diterangkan dalam Sunnah Rasulallah saw., bila tidak ada keterangan
yang jelas mengenai suatu amalan, maka para ulama akan meneliti dahulu apakah
amalan yang bersangkutan itu berlawanan dengan hukum yang telah
digariskan oleh syari’at Islam (hukum pokok Islam). Dengan demikian ayat dan
hadits tersebut jelas maknanya: Bahwa suatu perbuatan tidak boleh
diharamkan hanya karena alasan bahwa Nabi saw., para sahabat atau salafus sholih tidak pernah
meng-amalkannya!.Begitu juga tidak semua kata-kata Bid’ah (rekyasa
yang baru) itu otomatis haram, sesat dan lain sebagainya. Banyak sekali
amalan para sahabat yang Bid’ah pada zaman Rasulallah saw. mau pun
setelah wafat beliau yang tidak pernah diajarkan dan di perintahkan oleh beliau
saw.. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan bahwa amalan Bid’ah
para sahabat itu itu adalah haram, syirik dan lain sebagainya. (keterangan
lebih mendetail silahkan membaca bab Bid’ah dibuku ini)
Dalil-dalil golongan pengingkar dan
jawabannya:
Golonganpengingkar
menulis beberapa hadits dan wejangan para ulama yangmembidáhkan munkar amalan
bulan Sya'ban dan Rajab antara lain tulisanmereka ialah:
Hadits pertama: “Barangsiapa yang shalat
seratus raka’at pada malam nishfu dari bulan Sya’ban, ia baca pada tiap-tiap
raka’at sesudah al-Fatihah, Qulhu sepuluh kali, maka tidak seorang pun yang
shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada
malam itu…sampai akhir hadits”.
Hadits Kedua: “Barangsiapa yang membaca pada malam
nishfu Sya’ban Qulhuwallahu ahad seribu kali dalam seratus raka’at…sampai akhir
hadits”.
Hadits Ketiga: “Barangsiapa yang shalat pada malam
nishfu Sya’ban 12 raka’at, ia baca pada tiap-tiap raka’at Qulhu 30 kali
………sampai akhir hadits”.
Hadits Keempat: “Riwayat yang menerangkan
bahwa Nabi saw. Shalat nishfu Sya’ban 14 raka’at, setelah selesai beliau
membaca al-Fatihah 14 kali, qulhu 14 kali, ayat kursi satu kali......sampai akhir
hadits”.
Kata mereka selanjutnya:
Imam Ibnu Jauzi berkata, “Tentang hadits-hadits
(diatas) ini kami tidak ragu lagi tentang palsunya, semua rawi-rawinya pada
tiga hadits (nomer pertama s/d ketiga) majhul (tidak diketahui
keadaannya oleh ahli hadits). Dan (hadits) ini (yang keempat) juga maudhu
(palsu) dan sanadnya gelap (tidak diketahui).
Imam Nawawi berkata: “Shalat rajab, shalat nishfu
Sya’ban adalah dua Bid’ah, Munkar lagi Jelek”. (As-Sunan wal Mubtada’at halaman
144,145 karangan Syaikh Muhammad Abdussalam Al-Hudlori).
Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat ragha’ib
(shalat pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab), dan shalat pada awal malam
bulan Rajab, dan shalat pada awal malam Mi’raj, dan shalat Al-Fiyah
(seribu) malam nishfu Sya’ban, adalah Bid’ah dengan kesepakatan
pemuka-pemuka Agama (Islam). Sedang hadits-hadits yang diriwayatkan (semuanya?)
Dusta dengan Ijma’ Ahli Ilmu Hadits”. (Fatawa Ibnu Taimiyah jilid
23 hal.131 s/d 135).
Imam Fatany berkata: “Tentang shalat nishfu
Sya’ban itu tidak ada satu pun kabar atau riwayat (yang shahih) melain- kan
riwayat yang dho’if atau palsu. Oleh karena itu janganlah kita
tertipu dengan disebutnya (shalat nisfu itu) di kitab QUT dan Ihya’ dan yang
selain keduanya”. (As-Sunan wal Mubta-da’at
hal.144 dan 145). Dikitab Ihya karangan Imam Al-Gazali memang ada tersebut
disunatkannya shalat nishfu Sya’ban itu. Oleh karena itulah Imam Fatany
memperingat kan kita supaya jangan tertipu dengan disebutnya dikitab Ihya itu
dimana pengarangnya seorang Imam besar namun manusia manakah yang tidak
mempunyai salah?
Imam Al-Iraqi yang mengoreksi hadits-hadits yang
terdapat diKitab Ihya mengatakan, “Hadits-hadits tentang shalat malam nishfu
Sya’ban itu adalah hadits yang Bathil,dan Ibnu Majah meriwayatkan dari
hadits Ali, apabila datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malam- nya
dan puasalah pada waktu siangnya. Tapi semua sanad nya dlo’if !
(Ihya ‘Ulumid din jilid 1 halaman 203 oleh: Imam Al-Gazali)
Jawaban:
Tidak adanya pengakuan atau kepercayaan
–para Imam
diatas itu– tentang hadits-hadits, yang berkaitan dengan sholat
pada malam nishfu Sya’ban yang ditentukan bilangan raka’atnya dan bacaan-bacaan
tertentu didalam sholat tersebut, bukan berarti mereka ini mengharamkan
orang yang mengamalkan sholat sunnah atau mubah pada malam nishfu Sya’ban itu.
Para imam ini hanya mengatakan –semua amalan yang telah dikemukakan dalam
hadits tersebut– itu bid’ah (rekyasa baru), karena ,menurut mereka,
Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan atau mengucapkan tentang ketentuan
atau cara sholat dan bacaannya pada malam nishfu Sya’ban atau pada bulan Rajab.
Bila benar Rasulallah saw. tidak pernah mensunnahkannya, tidak lain yang dicela
oleh para ulama diatas ialah mencela atau mensesatkan orang yang mengemukakan
hadits atas nama Rasulallah saw., yang mana beliau saw sendiri tidak pernah
mengucapkannya! Jadi bukan amalan ibadahnya yang dicela atau disesatkan,
selama amalan ibadah ini tidak keluar dari yang telah digariskan oleh syari’at
Islam!! Karena syari’at tidak melarang orang sholat sunnah muthlaq
berapa raka’at yang mereka kehendaki dengan bacaan apa pun dari Al-Qur’an.(baca
keterangan bid'ah disitus ini dan keterangan berikut ini).
Jadi para ulama tadi tidak mengharamkan
orang-orang yang mengamalkan amalan sholeh pada malam nishfu Sya’ban.Para Imam
itu juga tidak mengingkari adanya hadits Rasulallah saw. lainnya
yang diakui oleh para ulama pakar
lainnya mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu
Sya’ban tersebut. Umpamanya hadits yang telah kami kemukakan sebelumnya
dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘..pada bulan Sya’ban
diangkatnya amalan-amalan keRabbul ‘Alamin....sampai akhir hadits’. Begitu juga
hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. bahwa Rasulllah saw.
bersabda:.’...pada malam nishfu Sya’ban Allah swt. akan mengampuni orang yang
mohon ampun ...sampai akhir hadits’ dan hadits-hadits lainnya. Mengapa justru golongan
pengingkar ini yang memutuskan bahwa semua amalan-amalan ibadah pada
bulan dan nishfu Sya’ban adalah bid’ah munkar serta melarang
orang extra sholat sunnah dan amalan ibadah lainnya pada waktu yang mulia
tersebut?
Begitu
juga golongan pengingkar dan pengikutnya ini mempunyai paham bahwa
hadits-hadits yang dhoif –walaupun dalam masalah kebaikan– tidak boleh
untuk diamalkan, dengan lain perkataan, bila amalan yang tercantum di dalam
hadits dhoif itu diamalkan maka otomatis menjadi haram atau bid’ah
sesat yang harus diperangi.
Akidah mereka seperti itu telah menyalahi
Ijma’ (sepakat) Ulama yang mengatakan: “Hadits yang dhoif itu boleh
diamalkan bila berkaitan dengan Fadhail ‘Amal (amalan-amalan yang mulia/
baik)”. Hadits dhoif adalah hadits yang mempunyai asal/akar
tetapi belum memenuhi syarat-syarat hadits hasan atau shohih, misalnya karena
ada diantara perawi dari hadits tersebut yang majhul (tidak dikenal)
atau lemah hafalannya. Tetapi bila banyak beredar hadits dhoif mengenai
amalan yang sama dan diriwayatkan oleh berbagai para perawi lainnya maka dia
meningkat menjadi hadits Hasan/ Baik, begitu juga hadits Hasan bila banyak
diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda-beda dia akan meningkat menjadi hadits
shohih. Hanya dengan satu hadits saja –walau pun misalnya hadits
ini lemah– tetapi banyak diriwayatkan dari berbagai jalan sudah cukup buat
kita sebagai anjuran dalil untuk mengamalkan amalan-amalan sholeh pada
kesempatan emas tersebut yaitu pada malam nishfu itu. Apalagi masih ada dalil
yang tidak dhoif mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban itu. Dengan
demikian orang tidak bisa main pukul sama rata bahwa semua hadits mengenai
kemuliaan bulan dan malam nishfu Sya’ban adalah munkar!
Sekali lagi, umpama saja, kita benarkan
bahwa tidak ada cara tertentu yang sah dari Rasulallah saw. untuk
beribadah pada malam tersebut, ini bukan berarti orang tidak boleh atau
haram untuk sholat sunnah Muthlaq atau berdo’a pada malam nishfu
Sya’ban yang mulia itu. Dimana dalilnya dari Rasulallah saw. atau dari para
sahabat atau dari para salaf bahwa orang dilarang/haram mengamalkan
ibadah (sholat, membaca do’a dan lain sebagainya) pada malam
tersebut? Sudah Tentu Tidak Ada! Karena semuanya itu merupakan
amalan-amalan sholeh. Agama Islam tidak pernah melarang orang mengamalkan
kebaikan selama hal ini tidak berlawanan dengan yang telah digariskan oleh
syari’at, serta tidak disyariatkan sebagai amalan wajib! Malah sebaliknya
syari’at sering menganjurkan agar kita selalu mengamalkan amalan-amalan
sholeh/kebaikan! Apakah orang yang berdo’a, sholat sunnah Muthlaq bukan termasuk
sebagai amalan sholeh? Tidak ada satu pun dari golongan muslimin yang
mengamalkan amalan ibadah pada malam nishfu mempunyai firasat bahwa amalan itu
adalah amalan yang diwajibkan oleh syari’at Islam, tidak lain ini hanya
omongan atau isu-isu yang diada-adakan oleh golongan pengingkar
ini!
Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan
yang dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari
biasa saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah atau
berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah Muthlaq (yang hanya
berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang dilarang oleh
agama. (ump. setelah sholat Shubuh, setelah sholat ‘Ashar dan lain sebagainya
yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih). Firman Allah swt.dalam surat
(Al- Mu’min :60); “..Berdo’alah padaKu Aku akan mengabulkannya” juga
firman-Nya dalam surat Thaahaa:14; ‘..Dan dirikanlah sholat untuk
mengingat-Ku’. Dalam ayat ini Allah swt. tidak membatasi lafadh/kalimat do’a
yang harus dibaca, begitu juga Dia tidak membatasi hanya sholat wajib
saja, malah ada firman Allah swt. agar manusia sholat sunnah tahajjud (sholat
waktu malam) atau amalan-amalan sunnah disamping amalan wajibnya!
Perkataan
Imam Nawawi: “Bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah dimalam
itu (malam nishfu) adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama
dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga
shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah saw. Beliau (Imam
Nawawi) mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik
yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, maupun di dalam kitab
Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki”. Jelas yang dimaksud Imam Nawawi
ialah sholat bentuk ritual yang ditentukan 100 raka’at dimalam nishfu Sya’ban
dan sholat Raghaib 12 raka’at di bulan Rajab itu Bid’ah (rekayasa yang
baru) yang tidak ada dalilnya dari Rasulallah saw. Tetapi beliau tidak
mengatakan bahwa amalan itu ‘Bid’ah yang Haram dikerjakan’!
Berapa banyak riwayat yang menyebutkan
amalan ibadah sholat sunnah atau bacaan-bacaan didalam sholat yang diamalkan
para sahabat yang sebelum dan sesudah nya tidak pernah diperintahkan oleh
Rasulallah saw. atau tidak ada dalilnya dari beliau saw.. Begitu juga Sayyidina
‘Umar bin Khattab ra. pernah mengatakan ‘Bid’ah yang nikmat’ pada sholat
Tarawih, Siti Aisyah ra sendiri pernah membid’ahkan sholat Dhuha yang
beliau kerjakan dan lain sebagainya, yang telah kami kemukakan pada bab Bid’ah
dibuku ini. Tetapi tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengatakan bahwa
kata-kata ‘Bid’ah’ itu otomatis Haram, Munkar yang harus
diperangi. Pikirkanlah !
Sholat sunnah Muthlaq itu boleh
dilakukan kapan saja (kecuali waktu-waktu tertentu yang dilarang) dan berapa
saja jumlah raka’at yang di kehendaki. Sholat sunnah itu menurut ilmu Fiqih
dibagi menjadi dua macam yaitu Muthlaq dan Muqayyad. Untuk
sunnah Muthlaq cukuplah orang berniat shalat saja (sholat yang tidak ada
namanya).
Imam
Nawawi –rahimahullah– sendiri berkata: “Seseorang yang melakukan sholat sunnah
dan tidak menyebutkan berapa raka’at yang akan dilakukan dalam shalatnya itu,
bolehlah ia melakukan satu raka’at lalu bersalam dan boleh pula menambahnya
menjadi dua, tiga, seratus, seribu raka’at dan seterusnya. Apabila seseorang sholat sunnah dengan
bilangan yang tidak diketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah pula tanpa
perselisihan pendapat antara para ulama. Demikianlah yang telah disepakati oleh
golongan kami (madzhab Syafi’i) dan
diuraikan pula oleh Imam Syafi’i didalam Al-Imla”. (Dinukil dari kitab
Fiqih Sunnah Sayid Sabiq ,terjemahan Indonesia, jilid 2 cet.kedua th.1977 hal
.11)
Pada halaman 12 dikitab yang sama
diatas ini ditulis, bahwa Imam Baihaqi meriwayatkan dengan isnadnya,
“bahwa Abu Dzar ra. melakukan sholat (sunnah) dengan raka’at yang
banyak, dan setelah salam ditegur oleh Ahnaf bin Qais ra., katanya:
‘Tahukah anda bilangan raka’at dalam sholat tadi, apakah genap atau ganjil’? Ia
(Abu Dzar) menjawab: ‘Jikalau saya tidak mengetahui berapa jumlah raka’atnya,
maka cukuplah Allah mengetahuinya’, sebab saya pernah mendengar kekasihku Abul
Qasim (Nabi Muhammad saw.) bersabda –sampai disini Abu Dzar menangis– kemudian
dilanjutkan pembicaraannya; Saya mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda:
‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah satu kali, melainkan
diangkatlah ia oleh Allah sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa’ “.
(Menurut al-Albani dalam kitabnya ,terjemahan bahasa Indonesia, Tamamul
Minnah jilid 1 hal. 292 cet.pertama th.2001 bahwa hadits ini ada dalam shohih
al-Baihaqi dan didalam- nya tidak ada perawi yang diperselisihkan, begitu juga
imam Ahmad telah meriwayatkan hadits ini).Adapun mengenai sholat sunnah Muqayyad
itu terbagi dua:
Pertama: Yang disyariatkan sebagai
sholat-sholat sunnah yang mengikuti sholat fardhu/wajib dan inilah yang disebut
sholat Rawatib (ump..sholat-sholat sunnah Fajr, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib
dan Isya’).
Kedua: Yang disyariatkan bukan sebagai
sholat sunnah yang mengikuti sholat Fardhu/wajib (ump. Sholat Tasbih, sholat
Istisqa dan lain-lain).
Abu Dzar ra. –sahabat Nabi saw. yang terkenal–
telah melakukan sholat sunnah Muthlaq (yang hanya niat sholat saja),
tanpa mengetahui berapa jumlah raka’at yang beliau kerjakan itu. Tidak ada para
sahabat yang menegor beliau dan mengatakan bahwa amalan itu Bid’ah munkar,
Haram dan sebagainya! Abu Dzar ra. juga menyebutkan suatu dalil umum
yang membolehkan amalan sholat sunnah itu berapa pun jumlahnya yaitu ‘Tiada
seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah ....sampai akhir hadits’. Mengapa
justru golongan pengingkar ini berani menvonnis amalan-amalan sholat sunnah
Muthlaq pada malam nishfu sebagai bid’ah munkar, haram dan lain
sebagainya?
Imam Nawawi sendiri telah mengatakan
bahwa orang dibolehkan/sah sholat sunnah satu, dua, sampai ratusan raka’at
dengan satu kali salam bila sholat sunnah itu tidak disebutkan berapa raka’at
sebelumnya. Imam yang cukup terkenal ini pun tidak mengingkari kebolehan orang
untuk sholat sunnah (Mutlaq) terserah berapa raka’at yang dia kehendaki,
mengapa golongan pengingkar ini berani membid’ahkan munkar atau haram orang
yang mengamal kan ibadah sholat sunnah Muthlaq dimalam yang mulia yaitu nishfu
Sya’ban? Apakah Abu Dzar, Imam Nawawi itu bodoh, tidak mengerti hukum fiqih
hanya ulama golongan peng ingkar saja yang pandai,cerdas dan menguasai ilmu
fiqih?
Jadi para imam yang dikemukakan oleh
golongan pengingkar tadi hanya mencela atau memunkarkan kepada orang yang
meriwayatkan hadits atas nama Rasulallah saw. karena beliau saw. –menurut
penelitian mereka– tidak pernah menganjurkan amalan-amalan ibadah tertentu pada
malam nishfu atau pada bulan Rajab. Jadi bukan amal ibadahnya yang dicela atau
disesatkan.
Umpama
saja kita tolerans dengan golongan pengingkar yaitu membenar- kan paham mereka
bahwa para imam itu benar-benar mengharamkan amalan ibadah pada bulan Sya’ban
atau Rajab. Ini pun bukan suatu dalil yang harus di-ikuti karena dalam syari’at
tidak ada pengharaman sholat sunnah dengan bacaan-bacaan tertentu dalam sholat
tersebut. Malah sebaliknya banyak dalil yang menganjurkan agar kita
memperbanyak ibadah sunnah dan berdzikir serta banyak riwayat yang menulis
bahwa para sahabat mengamalkan amalan bid’ah hasanah yaitu menambah
bacaan dalam sholat fardhu yang tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan
oleh Rasulallah saw.. (silhakan rujuk
kembali pada bab Bid’ah dibuku ini) Wahai saudaraku, janganlah seenaknya
menghukum amalan ibadah sunnah atau mubah sebagai bid’ah munkar atau
haram dikerjakan! Menghukum sesuatu amalan nafilah sebagai bid’ah
munkar atau haram harus menunjuk kan nash yang khusus atas keharaman
amalan tersebut, jadi tidak seenaknya sendiri! Bila kalian tidak mau
mengamalkan amalan-amalan mubah ini, silahkan, itu urusan kalian tidak
ada orang yang mencela hal itu, karena tidak lain semuanya itu hanya amalan
sunnah atau mubah! Cukup banyak dalil baik dari firman Allah swt. mau pun dari
sunnah Rasulallah saw. agar manusia selalu berbuat kebaikan, dan setiap
kebaikan walau pun kecil akan dicatat pahalanya! Apakah sholat sunnah atau
do’a kepada Allah swt. itu bukan termasuk kebaikan?
Ibnu Taimiyyah
menghidupkan Nishfu Sya’ban dengan
amalan yang khusus.
Ibnu
Taimiyah mengkhususkan amalan sholat pada nishfu Sya’ban dan memujinya: Berkata
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Fatawa pada jilid 24 halaman
131 mengenai amalan Nishfu Sya'ban sebagai berikut:
إذا صلَّى الإنسان
ليلة النصف وحده أو في جماعة خاصة كما كان يفعل طوائف من المسلمين فهو: حَسَنْ
Artinya:
"Apabila seorang itu menunaikan sholat pada malam Nishfu Sya'ban
secara individu atau berjamaah secara khusus sebagaimana
yang dilakukan oleh sebilangan masyarakat Islam maka hal itu adalah Baik".
Lihat bagaimana Ibnu Taimiyah sendiri memuji siapa yang menghidupkan amalan khusus pada malam Nishfu Sya'ban yaitu dengan menunaikan sholat sunnah pada waktu itu baik secara perseorangan mau pun secara berjama’ah, Ibnu Taimiyah menyifatkan amalan khusus itu sebagai Hasan/ Baik.
Pada
halaman 132 dikitab yang sama itu, Ibnu Taimiyyah mengakui adanya hadits yang
mengkhususkan untuk ibadah sholat malam Nishfu Sya’ban:
وأما ليلة النصف - من شعبان - فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة (( فلا ينكر مثل هذا )) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات
Artinya:
"(Berkenaan malam Nishfu Sya'ban) maka telah diriwayatkan mengenai
kemuliaan dan kelebihan Nishfu Sya'ban dengan hadits-hadits dan atsar, di
nukilkan dari golongan Salaf (orang-orang
dahulu) bahwa mereka menunaikan sholat khusus pada malam Nishfu Sya'ban,
sholatnya seseorang pada malam itu secara perseorangan sebenarnya telah
dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara tersebut terdapat hujjah/dalil
maka jangan di-ingkari, manakala sholat secara jama’ah (pada malam
nishfu sya'ban) adalah dibina atas hujah/ dalil kaedah pada berkumpulnya
manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat". Dalam kitabnya Iqtido'
As-sirot Al-Mustaqim pada halaman 266 beliau mengatakan:
ليلة النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي: أنها ليلة مُفضَّلة. وأنَّ مِن السَّلف مَن كان يَخُصّها بالصَّلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من أهل المدينة وغيرهم من الخلف: مَن أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم بني كلب] وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد - ابن حنبل من أئمة السلف - ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفيَّة، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن
Artinya:
"(Malam Nishfu Sya'ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya
dari hadits-hadits Nabi dan pada kenyataan para sahabat telah menjelaskan bahwa
itu adalah malam yang mulia dan dikalangan ulama As-Salaf yang mengkhususkan
malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan sholat khusus padanya dan berpuasa
bulan Sya'ban, ada pula hadits yang shohih. Ada dikalangan Salaf (orang
yang terdahulu), sebagian dari ahli Madinah dan selain mereka sebagian
dikalangan Khalaf (orang belakangan) yang mengingkari kemuliannya
dan menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits:
'Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu
kambing bani kalb'. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan
ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban,
dan yang demikian adalah kenyataan Imam Ahmad bin Hanbal dari ulama
Salaf, karena cukup banyak hadits yang menyatakan mengenai kemuliaan
Nishfu Sya'ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan
ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya'ban dalam banyak
kitab hadits Musnad dan Sunan". Demikianlah pendapat Ibnu Taimiyyah
mengenai bulan dan malam Nishfu Sya'ban.
Jelas
sebagai bukti bahwa Ibnu Taimiyah sendiri mengakui dan tidak mengingkari kebaikan
amalan khusus pada nishfu Sya’ban termasuk didalamnya sholat sunnah.
Belliau juga mengatakan bahwa amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban
dikerjakan oleh para Salaf. Tetapi sayangnya golongan peng-
ingkar yang mengaku sebagai penerus akidah Ibnu Taimiyyah ini telah meng
haramkan dan membid’ahkan mungkar amalan dalam bulan dan nishfu
Sya’ban ini? Mereka hanya menyebutkan kata-kata Ibnu Taimiyyah yang sepaham
dengan mereka tetapi kata-kata Ibnu Taimiyyah yang tidak sepaham, mereka
kesampingkan! Apakah mereka ini juga berani membid’ahkan mungkar Ibnu
Taimiyyah? Apakah mereka ini akan merubah atau mengarti kan kata-kata Ibnu
Taimiyah yang sudah jelas tersebut –sebagaimana kebiasaan mereka– sampai sesuai
dengan paham mereka?
Al-Qasthalani
dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan
bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul
telah berjuhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nishfu
sya’ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan. Selanjutnya
Al-Qasthalany berkata perbedaan pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk
cara ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara
berjama’ah yaitu pendapat Khalid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir dan disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Ada
lagi yang mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya, pendapat
ini disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya.
Menghidupkan malam
nisfu sya`ban dengan amalan ibadah itu telah disepakati pula oleh para ulama
madzhab antara lain:
Ibnu
Abidin Al hanafi dalam kitab : Hasyiah Roddul Muhtar Juz 2 hal 25 ;
Ibnu
Najem Alhanafi dalam kitab Bahru Roiq juz 2 hal 56.2-
Imam
Dasyuqi Almaliki dalam Kitab Assyarhul kabir juz 1 Hal 399.3-
Imam
Syafii dalam Kitab Umm juz 2 hal 264,
Alkhatib
Syirbini dalam kitab Mughni Muhataj juz 1 hal 591.4-
IbnuTaimiyyah
Alhambali dalam kitab Majmu` Fatawa juz 23 hal 132
Ibnu
Rajab Al hambali dalam Kitab Lathiful Ma`arif hal 263 dan lain-lainnya.
Masih
banyak lagi pendapat para ulama yang membolehkan amalan ibadah khusus pada
malam nishfu Sya’ban karena merupakan amalan kebaikan yang taqarrub/
mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan demikian para ulama salaf dari
zaman dahulu sampai zaman sekarang telah mengakui adanya amalan-amalan ibadah
pada malam nishfu Sya’ban. Wallahu A’lam
Amalan-amalan pada bulan
Rajab
Alasan-alasan
dan dalil-dalil yang telah dikemukakan untuk memperkokoh keabsahan kemuliaan,
keutaman bulan dan malam nishfu Sya’ban, pada dasarnya memperkuat juga
keabsahan kemuliaan dan keutamaan bulan Rajab. Lepas dari itu semua,
kami ingin mengutip dan mengumpulkan ,secara singkat, riwayat-riwayat mengenai
kemuliaan dan amalan pada bulan Rajab berikut ini. Keterangan yang muktamad
tentang bulan Rajab adalah bahwa bulan itu termasuk bulan-bulan yang
dihormati dan dimuliakan, atau dalam Al-Qur’an di sebut sebagai Asyhurul
Hurum, yaitu, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muhar- ram dan Rajab.
Dalam
bulan tersebut, Allah swt. melarang peperangan dan ini merupakan tradisi yang
sudah ada jauh sebelum turunnya syariat Islam. Allah swt berfirman dalam surat
At-Taubah: 36 sebagai berikut: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama
yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa”.
Didalam
surat Al-Maidah:2, Allah swt.berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman
janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan lah melanggar kehormatan
bulan-bulan haram”.
Empat
bulan haram itu di sebutkan juga dalam sabda Rasulullah saw. berikut ini:
“Sesungguhnya zaman telah berputar seperti pada hari penciptaan langit dan
bumi, setahun terdapat dua belas bulan dan empat di antaranya adalah bulan
haram dan tiga diantaranya berturut-turut, yaitu dzul qa’dah, dzul hijjah,
muharram dan rajab mudhar yang berada di antara jumadil awal, jumadil akhir dan
sya’ban”.(HR.Bukhari dan Muslim).
Imam
al-Qurtubi didalam tafsir-nya bahwa Nabi saw. sendiri pernah menegaskan
bahwa “bulan Rajab itu adalah bulan Allah, yaitu bulan Ahlullah. Dan di katakan
penduduk (mukmin) Tanah Haram itu Ahlullah karena Allah yang memelihara dan
memberi kekuatan kepada mereka”.(al-Qurtubi, Jami’ Ahkam al-Qur’an, juz.6, hlm 326).
Bulan-bulan
haram memiliki kedudukan yang agung, dan bulan Rajab termasuk salah satu dari
empat bulan tersebut. Dinamakan bulan-bulan haram karena diharamkan nya
berperang di bulan-bulan itu kecuali musuh yang memulai. Hadits dari Anas bin
Malik r.a. berkata; “Bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab
selalu berdo’a, ‘Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna
ramadan.’ Artinya, ‘ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban;
dan sampaikan kami ke bulan Ramadan’ “. (HR.Ahmad dalam Musnad-nya juz
1: 259 hadits no 2346 dan Tabrani). Hadits ini disebutkan dalam banyak
keterangan, seperti dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id
al-Musnad (2346). Al-Bazzar didalam Musnadnya
–sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar– (616); Ibnu
As-Sunny didalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658); Ath-Thabarany didalam
(al-Mu’jam) al-Awsath (3939). Kitab ad-Du’a’ (911). Abu Nu’aim didalam
al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534). Kitab Fadhaa’il
al-Awqaat (14). Al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473).
Diriwayatkan
dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda; “Puasalah pada
bulan-bulan haram (mulia)”. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
Ahmad).
Imam
Ath-Thabrani meriwayatakan hadits dari Abu Hurairah ra “bahwa Nabi saw. tidak
menyempurnakan puasa sebulan setelah Ramadhan kecuali pada Rajab dan Sya’ban.”
(ibid, hlm 161 juz 9 hadits no. 9422).
Al-Syaukani
dalam Nailul Authar, (dalam pembahasan puasa sunat) sabda Nabi saw.,
‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan
orang’, itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga
disunnahkan melakukan puasa didalamnya. Ditulis juga oleh al-Syaukani, dalam Nailul
Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam’ani
yang mengatakan bahwa tidak ada hadits yang kuat (baca; lemah) yang
menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa
Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab (walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abu Bakar), sebagaimana
Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena
tidak ada dalil yang kuat. Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani,
bila semua hadits yang secara khusus menunjuk kan keutamaan bulan Rajab
dan disunnahkan puasa didalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadits-hadits
yang umum (seperti yang tercantum diatas) itu cukup menjadi hujah
atau landasan. Disamping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat
yang memakruhkan puasa dibulan Rajab.
Puasa/Shaum
dibulan Rajab dibolehkan (ibahah) ber dasarkan hadits shahih.. Tetapi tidak
satu pun dalil-dalil shahih dari Rasulallah saw. yang menentukan/
menetapkan tanggal-tanggal tertentu (seperti 1 Rajab, 17 Rajab, 27
Rajab, dan sebagainya), semua hadits berkenaan dengan tanggal-tanggal
tersebut adalah dha’if atau maudhu’ sehingga tidak bisa
dijadikan hujjah. Sebagian sahabat dan salafus-shalih memakruhkan jika
berpuasa Rajab sebulan penuh dan sebagian lainnya tidak
memakruhkannya.
Hadits shahih tentang hal tersebut
adalah; Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya: “Telah
menceritakan pada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami
Abdullah bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah
menceritakan pada kami ayah kami, telah mencerita kan pada kami Utsman bin
Hakim Al-Anshari berkata: ‘Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa
Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab’, maka ia menjawab:
Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: ‘Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab)
sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya,
lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata: Nampaknya beliau tidak akan
berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya’“. (Albani sendiri dalam Al-Irwa’
mengatakan: Hadits ini di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (VI/139)
dan Ahmad (I/26). Saya (Albani) katakan: Bahkan hadits ini juga di-takhrij oleh
Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad (VI/156, no. 2547); Al-Baihaqi dalam
Al-Kubra’ (IV/906); dan dalam Syu’abul Iman (VIII/316, no. 3638).
Kendati
pun demikian, ada pula hadits-hadits lain yang memakruhkan berpuasa
dibulan Rajab, jika berpuasa satu bulan penuh (Al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iman (VIII/330, no. 3653). Ibnu Umar termasuk yang memakruhkan berpuasa
di bulan Rajab walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abubakar (HR.
Ahmad dalam Al-Musnad I/180, no. 176; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ III/893).
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra juga tidak menyukai puasa dibulan
Rajab (namun kedudukan haditsnya diperbincangkan, karena ada Rijal yang tidak
dikenal) (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath (XVI/427 no. 7851), tetapi Imam
Al-Haitsami mengomentari hadits ini: “Dalam sanadnya ada Hasan bin Jablah dan
aku tidak menemukan orang yang menyebutkan tentang siapa dia ini, selebihnya
Rijal-nya Tsiqat.” (Majma’ Az-Zawa’id, III/191).
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari
Imam Syafi’i, berbunyi: “Telah sampai kepada kami bahwa Asy-Syafi’i mengatakan:
‘Sesungguhnya do’a itu mustajab pada lima malam: malam juma’at,
malam ‘Idul Adha, malam ‘Idul Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu
Sya’ban’ “. (al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 1994, Maktabah Dar al-Baz: Makkah
al-Mukarramah, juz.3 hlm 319). Masih banyak hadits yang beredar mengenai
beramal sholeh pada bulan Rajab dan Sya’ban yang tidak kami kemukakan disini.
Berdasarkan
keterangan tadi, jelaslah kepada kita bahwa bulan Sya’ban dan bulan Rajab
mempunyai dalil-dalil yang tersendiri. Sumber-sumber hukum Islam dan
keterangan baik para ulama Salaf mau pun Khalaf telah memberitahu bahwa
terdapat hadits-hadits yang shohih, hasan, mursal, marfu’, maudhu’, dhaif,
dhaif jiddan (amat lemah) tentang amalan-amalan seputar bulan Sya’ban
dan Rajab. Begitu juga banyak hadits yang beredar mengenai keutamaan bulan
Sya’ban dan bulan Rajab.
Oleh karenanya, kita tidak bisa
pukul sama rata bahwa semua hadits tentang amalan ibadah pada bulan
Sya’ban dan Rajab itu palsu, dhoif ….dan tidak ada yang shohih
atau hasan. Setiap isu dan dalil harus dipahami secara menyeluruh lagi
mendalam agar kita tidak tersesat dari landasan yang benar. Jangan lagi pada
malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada
dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk
sholat sunnah, puasa atau berdo’a kepada Allah swt., selama sholat
sunnah (yang hanya berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang
di makruhkan oleh agama (ump. seusai sholat Shubuh, seusai sholat ‘Ashar dan
sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih), begitu juga puasa sunnah
(hanya berniat puasa saja) tidak boleh diamalkan pada hari-hari yang dilarang
menurut ahli Fiqih. Karena firman Allah swt.; ‘Berdo’alah pada-Ku Aku akan
mengabul- kannya” juga firman-Nya “Dirikanlah sholat untuk mengingatKu”.
Dalam ayat ini tidak dibatasi lafadh do’a yang harus dibaca, begitu juga
tidak dibatasi hanya sholat wajib saja. Sedangkan mengenai puasa sunnah
(yang hanya berniat puasa saja) banyak hadits yang meriwayatkan.
Semua ibadah yang diamalkan karena
Allah swt. itu adalah baik, malah amalan-amalan yang dikerjakan pada zaman jahiliyyah
pun bisa kita tiru kalau mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan
syari’at Islam. Sebagai contoh satu hadits yang diriwayatkan Al-Hakim
dari Nubaisyah ra.; “Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw., ‘Wahai
Rasulallah, kami memberi persembahan (kepada berhala) di zaman
jahiliyah, apa yang harus dilakukan di bulan Rajab ini? Beliau saw. menjawab: ‘Sembelihlah
binatang ternak karena Allah, dibulan apapun, lakukanlah kebaikan karena Allah
dan berilah makanan’”. Imam Al-Hakim
mengatakan: ‘Isnad hadits ini adalah shohih tetapi tidak dikeluarkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam shohih mereka berdua’. (Abu Abdillah
al-Hakim, al-Mustadrak ala Sahihain, 1990, Cetakan pertama, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah : Beirut, juz 4, hlm 263).
Misalnya
ada hadits Nabi saw. –sudah tentu tidak mungkin– yang melarang umatnya
berpuasa atau beramal sholeh di bulan Sya’ban dan Rajab, hadits ini akan
diteliti betul-betul oleh para ulama, karena jelas bertentangan dengan
hadits-hadits lain yang menganjurkan orang berpuasa dan sholat sunnah disamping
yang wajib dan beramal sholeh setiap waktu!! Imam Syaukani sendiri dalam Nailul
Authar berkata: “Tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa
dibulan Rajab begitu juga tidak ada hadits yang kuat (baca;
lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus”. Dengan
demikian amalan ibadah puasa bulan Rajab serta amalan ibadah memperbanyak
sholat sunnah atau berdzikir adalah amalan mubah, yang sudah pasti juga
mendapat pahala dari Allah swt.. Karena semua amalan baik walau pun kecil pasti
akan dicatat juga sebagai kebaikan, begitu juga amalan buruk walau pun kecil
pasti akan dicatat juga sebagaik keburukan (Al-Zalzalah:7-8)! Begitu juga
menurut kaidah ulama hadits yang dhoif boleh diamalkan bila mengandung
Fadhail ‘Amal. Wallahu a’lam.
Marilah
kita semua tidak saling cela mencela sesama muslim hanya masalah amalan sunnah
atau mubah. Orang yang tidak mau beramal pada bulan yang mulia itu juga tidak
ada salahnya begitu pun juga orang yang ingin beramal pada bulan yang mulia itu
akan mendapat pahala. Karena tidak ada satu amalan yang baik (sholat,
berdzikir, berdo’a dan lain-lain) yang tidak diberi pahala oleh Allah swt. Hal
ini banyak difirmankan oleh Allah swt. dan diriwayatkan dalam hadits Nabi saw.
Yang tidak dibolehkan oleh syari’at ialah merubah atau menambah
amalan-amalan pokok yang telah digariskan/ditetapkan oleh syariat agama.
(Umpama sholat Shubuh sengaja 3 raka’at dll). Semoga dengan kutipan singkat dan
sederhana mengenai bulan/nishfu Sya’ban atau bulan Rajab ini, bisa memberi
manfaat bagi diri dan keluarga kami khususnya serta semua ummat muslimin, amin.
Begitu juga dengan adanya firman-firman Allah swt. dan hadits Rasulallah saw.serta
wejangan-wejangan para ulama pakar yang tertulis dibuku ini, kita bisa ambil
kesimpulan bahwa semua perbuatan kebaikan, dengan cara bagaimanapun, asal
tidak keluar dari syariat dan tidak merubah hukum-hukum pokok agama, itu adalah
baik/mustahab apalagi yang mendatangkan mashlahat/kebaikan malah dianjurkan
oleh agama.Dan yang penting lagi orang tidak mensyari’atkan/ mewajibkan amalan
sunnah tersebut.
Insya Allah, tidak ada nash/hukum
yang jelas untuk mengharamkan atau melarang amal kebaikan yang telah
kami kemukakan diwebsite ini malah sebaliknya cukup banyak dalil –baik secara
langsung maupun tidak langsung– yang menganjurkan untuk beramal kebaikan. Arti
atau makna yang dimaksud kebaikan
dalam agama itu luas sekali. Janganlah kita sendiri yang membatasinya, sehingga
dengan mudah mengambil satu hadits tentang suatu amalan kemudian hadits ini
digunakan dalil untuk melarang/ mengharamkan amalan lainnya!
Insya
Allah dengan adanya dalil-dalil di website ini, tentang suatu amalan yang telah
diuraikan oleh ulama-ulama pakar berdasarkan ayat-ayat Ilahi dan hadits
Nabi saw., kebingungan kita bisa teratasi. Dengan demikian amalan-amalan
seperti; Tawassul, Tabarruk, kumpulan majlis dzikir, peringatan-peringatan
keagamaan dan lain sebagainya bisa lebih lancar jalannya. Karena semua itu
adalah sebagian dari syiar agama !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar