Sabtu, 25 Februari 2012

Budaya-Adat


PRAKTIK RITUAL-ADAT
 
Muqaddimah
 
Sesuatu yang dianggap baik oleh mukmin, dianggap baik pula di sisi Allah swt [HR. Ahmad]
 
Tulisan ini membahas praktik ritual adat yang dijalankan oleh kaum muslimin sebagai syiar agama.khususnya di daerah penulis, Cirebon. Sebagian upacara adat tak dapat dipungkiri merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan oleh umat muslim sendiri, sementara sebagian lain tidak jelas asalnya tapi semuanya bernuansa Islam. Aktifitas lainnya mengacu pada upacara adat yang bukan berasal dari Islam tapi ditolerir dan dipertahankan setelah mengalami proses modifikasi Islamisasi dari bentuk aslinya. Ritual-ritual adat dalam bentuknya yang sekarang tidak membahayakan keyakinan Islam, bahkan telah di golongkan sebagai manifestasi keyakinan itu sendiri dan digunakan sebagai syiar Islam khas daerah tertentu.
Ritual adat yang termasuk dalam jenis pertama adalah perayaan hari-hari besar Islam; sedang yang termasuk jenis kedua adalah syukuran/tasyakuran dan selametan berkenaan dengan perjalanan orang hidup dan peringatan kelahiran seseorang.

Hakikat Adat
Sebelum lebih jauh mengenal berbagai ritual adat di Cirebon, ada baiknya kita tinjau secara singkat, sifat adat, hakikat dan hubungannya dalam konteks masyarakat Cirebon. Hal ini penting karena menjadi bahan yang menarik bagi diskursus analitik.
Kata ‘adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan, dan dianggap bersinonim dengan ‘urf, sesuatu yang dikenal atau diterima secara umum. Adat umumnya mengacu pada konvensi yang sudah lama ada, baik yang sengaja diambil atau akibat dari penyesuaian tak sengaja terhadap keadaan, yang dipatuhi dan sangat meninggikan perbuatan atau amalan. Dengan pengertian ini, seekor binatang pun memiliki adatnya sendiri. Dahulu para Ulama Sunni menganggap bahwa ‘urf merupakan akar dari fiqh; namun, dalam pandangan Wahabi, ‘urf, jika bertentangan dengan peraturan kaku penguasa, dianggap sebagai thaghut, yaitu peri kehidupan sesat masyarakat jahilyah.
Di Cirebon, kata adat biasanya merujuk pada tradisi, kebiasaan, atau bentuk lain dari perilaku umum yang menjad sifat bawaan orang bersangkutan-*barang apa bae sing wis dilakoni deng wong akeh.—untuk menggambarkan hal ini, ilustrasi berikut mungkin dapat membantu:
1.   sejen tempat, ya sejen adat; wong kene adate mengkenen, wong kana adate mengkonon”
“Lain tempat, maka lain pula adat [kebiasaan]nya; adat orang di sini ya seperti ini, adat orang yang di sana ya seperti di sana”
2.    “adate wong kene iku ari sembahyang ya sarungan karo topongan

Adat orang sini kalau shalat memakai sarung juga peci.
 
Masih banyak contoh lain, tentunya; namun intinya adalah bahwa adat, dari perspektif masyarakat Cirebon, tidak lebih dari tradisi.
Agaknya adat dipahami sebagai fenomena alam yang kehadirannya secara umum dan inheren memberi kontribusi terhadap perilaku manusia, hingga yang berkenaan dengan cara melakukan sesuatus seperti menjalankan kewajiban agama dan perilaku social. Beberapa adat merupakan kreasi asli daerah, sedangkan beberapa yang lain mungkin berasal dari luar.sebagian bersifat ritual, dan sebagian yang lain seremonial. Kebanyakan anggota masyarakat tidak tahu kapan suatu bnetuk adat mulai dikerjakan atau dari mana asalnya. Dari sudut pandang agama, adat ada yang baik, ada pula yang jelek;-sebagian sesuai dengan syariat dan dinyatakan dalam kaidah fiqh, sebagian lagi sesuai dengan semangat tata susila menurut  Islam.  Ada yang sesuai dengan Islam, dan ada pula yang bertentangan. Prinsip adat sepikulan-segendongan orang Jawa dalam hal warisan, yang menetapkan bahwa seorang laki-laki berhak dua kali lipat atas bagian saudara wanita sekandung, merupakan contoh adat yang termasuk kategori yang pertama. Untuk kategori yang kedua , banyak bentuk perayaan dapat dijadikan contoh. Mengenakan pakaian menutup aurat saat shalat adalah contoh kategori ketiga, sedangkan adat seperti sabung ayam, bertaruh, berjudi merupakan contoh jenis keempat, atau yang bertentangan dengan Islam. Berdasarkan kenyataan bahwa adat ada yang baik dan kurang baik, maka cara menyikapinya, apakah harus dipertahankan ataupun tidak, terserah pertimbangan etika masing-masing individu. Ini berlaku baik bagi adat yang berasal dari Islam, maupun di luar Islam.
Kutipan hadits di awal, bahwa hadits merupakan salah satu dasar acuan tertulis yang menuntunnya apakah harus menerima atau menolak adat tertentu. Dalam hubungannya dengan sejumlah ritual dan upacara adat, para ulama dan tokoh alim lah yang berwenang menguji keabsahan praktik tersebut menurut Islam.
Kegiatan-kegiatan seperti peringatan hari besar Islam dan beberapa bentuk selametan, telah mendapat dukungan dari dan telah menjadi bagian pekerjaan bagi para ulama, tokoh alim, kiyai. Aktifiats tersebut telah menjadi adat muslim yang baik [wis dadi adate muslim sing bagus] dan bernuansa Islam yang signifikan. Oleh karena itu kadang-kadang sukar dan tidak perlu menentukan batas yang jelas antara adat dan syariat. Untuk mengklarifikasi hubungan antara keduanya, perhatikan ilustrasi berikut:
“Ari antarane adat karo syareat iku ya kayadene sembahyang ngenggo sarung karo topong. Sembayang iku syareat, sarungan karo topongan iku adate wong Jawa. la priben kudu misahe ? Ya bener, wong sembahyang sih, bli sarungan karo topongan maning gan, asal nutup aurat ya sah. Tapi, sembahyang ngenggo sarung iku wis dadi siji, bli bertentangan karo syareat; malah munggu prangsane wong kene, luwih bagus sebab nuduhaken luwih ta’zhim ning Gusti Allah”
 
“Kalau masalah adat dan syariat adalah seperti halnya shalat yang memakai [kain] sarung dan peci/kopiah. Shalat milik syariat, sarung dan kopiah milik adat orang Jawa. Lalu, bagaimana memisahkannya ? memang benar, bahwa shalat tanpa menggunakan sarung dan kopiah pun itu sudah sah, asal aurat tertutup. Tapi yang jelas, shalat dan memakai sarung dan kopiah sudah menyatu dan tidak bertentangan dengan syariat; bahkan menurut masyarakat di sini rasanya kelihatan lebih baik, karena menunjukkan lebih khusyuk-hormat ta’zhim- menghadap Allah”(*)
 
Perayaan Hari-hari Besar Islam
 
Dalam pembahasan ini, lebih menekankan pada bagaimana perayaan itu dilaksanakan, bukan pada asal usul sejarahnya meskipun hal ini memang tidak dapat diabaikan. Setidaknya ada empat bulan yang dinyatakan sebagai bulan suci. Bulan-bulan ini adalah: Dzulqa’dah [kapit], Dzulhijjah [Raya agung], Muharam [Sura o], dan rajab [Rejeb]. Yang berturut-turut merupakan bulan ke-11, 12, 1, danke- 7 dalam kalender Islam dan Jawa. Dalam bulan-bulan tersebut kaum muslimin dilarang untuk terlibat peperangan, kecuali bila terpaksa harus mempertahankan diri. Hal ini berdasarkan ayat al-Quran yang berbunyi:



“Sesungguhnya jumlah hitungan bulan dalam satu tahun menurut pandangan Allah adalah duabelas; dimana pada saat itu Allahmenciptakan langit dan bumi, empat diantara bulan-bulan tersebut adalah bulan suci; itulah agama yang benar, dan janganlah kamu berbuat zhalim di dalamnya…”[QS.9:36].
 
Sebenarnya Al-Quran tidak menyebutkan nama bulan-bulan tersebut secara khusus; para komentatorlah yang melakukannya. Selain bulan-bulan suci tersebut, ada juga bulan-bulan lain yang pada hari-hari tertentu dianggap suci dan dirayakan oleh kaum muslimin. Bulan-bulan tersebut adalah: Shafar [Sapar], Rabi’ul awwal [Mulud], Sya’ban [Ruwah], dan Ramadlan [Puasa].
 
Dengan demikian, delapan dari duabelas bulan tersebut mempunyai arti penting untuk diperingati. Melaui peringatan atau perayaan tersebut berkaitan dengan identitas sebagai muslim diekspresikan. Makna penting bulan-bulan tersebut lebih dapat ditelusuri dari sejarah Islam daripada dalam kitab suci. Pola umum peringatan/perayaan terdiri atas satu atau kombinasi beberapa elemen: seperti berdo’a, berpuasa, shalat sunnah, membaca Al-Quran, membaca riwayat hidup tokoh muslim atau cerita menyangkut kesucian hari atau bulan tertentu. Walaupun bukan keharusan, perayaan tersebut lebih sering dilakukan dlam bentuk pesta makanan. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, peringatan hari-hari besar Islam difokuskan pada pengajian [ceramah agama, umum] yang disampaikan oleh penceramah yang sengaja didatangkan untuk tujuan tersebut. Pengajian semacam ini menyeragamkan bentuk peringatan hari besar Islam sehingga perbedaan atau variasi yang ada hanya rujukan, isi dan pesan yang disampaikan oleh penceramah.
wallahu a'lam

Tidak ada komentar: